Jumat, 25 Januari 2013


Sejarah Penyusunan Tipitaka
Setelah Petapa Gotama mencapai penerangan sempurna dibawah pohon Bodhi di hutan Uruvela, dua bulan kemudian sebagai seorang Buddha selama 45 tahun Beliau dengan penuh cinta kasih mengajarkan Dharma kepada para Brahmana dan petapa, raja-raja dan pangeran-pangeran, cendikiawan dan mereka yang sederhana pikirannya, pedagang dan pekerja serta semua lapisan masyarakat lainnya sesuai dengan kemampuan dan pencapaian rohani mereka masing-masing
Menurut Vinaya Atthakata (samantapasadika), Sang Buddha mulai memberikan Vinaya setelah 20 tahun pencapain penerangan sempurna. Pada waktu itu mulai timbul prilaku bhikkhu-bhikkhu yang bukan saja merugikan perkembangan spiritualnya sendiri, tetapi juga berpengaruh terhadap citra Sangha dan agama Buddha pada umumnya. Di samping itu, terdapat juga para bhikkhu yang sebelumnya adalah pertapa dari berbagai aliaran keagamaan yang berbeda pula tata krama dan tradisinya dalam menjalani kehidupan spritual.
Dari latar belakang yang majemuk itu berbagai perilaku yang buruk dan perilaku lainnya yang tidak sesuai dengan kehidupan seorang samana menurut agama Buddha. Oleh sebab itu, sewaktu Sang Buddha masih hidup, setiap kali terjadi seorang bhikkhu melakukan perbuatan yang dapat dicela oleh para bijaksana, maka Sang Buddha menetapkan suatu peraturan. Bilamana di kemudian hari ada peraturan itu dilanggar (apatti) dan dinyatkan bersalah. Dengan demikian makin lama makin banyak peraturan yang ditetapkan oleh Sang Buddha.
Setelah Sang Buddha mencapai parinibbana (wafat), Arahat Maha Kassapa, melihat perlunyadikumpulkan Dharma yang pernah diajarkan oleh Sang Buddha agar tidak timbul perselisian di kemudia hari di antara para pengikiutnya. Jangankan sebulan, seminggu setelah Buddha Gautama wafat (483 S.M) seorang yang menjadi bhikkhu setelah berusia tua dan tidak disiplin bernama Subhadda berkata: “Jangan bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari Petapa Agung yang tidak lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi kita sekarang dapat berbuat apa saja yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang kita tidak senangi”. (Vinaya Pitaka II, 284)
Setelah mendengar ucapan dhikkhu subhadda demikan, maka arahat Maya Kassapa atas bantuan Raja Ajatasattu dari Magada, segera mengundang 500 orang berkumpul untuk mengumpulkan semua ajaran Sang Buddha yang diwedarkan-nya selamaini dan menyusunnya secara sistematis.
Dalam konsili pertama yang dipimpin oleh arahat Maha Kassapa yang berlangsung selama 7 bulan di Goa Sattapanni dekat Rajagaha. Arahat Upali memiliki kehormatan untuk mengulang kembali Vinaya dan Arahat Ananda mengulang kembali Dharma yang disaksikan oleh para Arahat lainnya.
Dharma dan Vinaya yang dikumpulkan dalam konsili petama tersebut diterima dan disetujui sebagai ajaran Sang Buddha. Ajaran inilah sebagaimana disabdakan oleh Sang Buddha Gotama menjelang beliau mencapai Parinibbana: “jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu”.
100 tahun kemudian diadakan konsili kedua untuk menyelesaikan perselisihan mengenai Vinaya. 3 bulan setelah Sang Buddha mencapai Parinibbana tidak dirasakan perlu untuk merubah Vinaya, walaupun Sang Buddha membiarkan Sangha untuk merobah peraturan-peraturan kecil. Sang Buddha juga bersabda, jika Vinyatidak dikurangi dan ditambah  maka Sangha akan hidup rukun dan tidak akan terpecah.

Oleh karena penjelasan lebih lanjut mengenai yang mana merupakan peraturan yang kecil serta dipandang tidak pantas merubah Vinaya selagi “abu jenazah Sang Buddha masih panas”, maka mereka tidak mengurangi maupun menambah Vinaya yang diberikan oleh Sang Buddha.
Akan tetapi, 100 tahun kemudian sekelompok bhikkhu dari Vesali telah merubah beberapa peraturan yang mereka pendang sebagai peraturan kecil. Kelompok bhikkhu lain menolak perubahan yang dilakukan oleh bhikkhu Vesali dan tetap berpegang pada Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Budha yang telah ditetapkan dan diterima dalam Konsili Pertama.
Menghadapi perkembangan ini, atas bantuan Raja Kalasoka diselenggarakan Konsili Kedua di Vesali yang merupakan tempat terjadinya penyimpangan Vinaya. Dalam Konsili ini, Dahrma dan Vinaya yang telah dihafalkan dan diturunkan secara lisan diucap oleh 700 Arahat. Dalam Konsili ini Bhikkhu-bhikkhu yang menyimpang dari Vinaya yang diberikan oleh Sang Buddha disalahkan.
Dan juga pada Konsili Kedua ini para Arahat yang diakui otoritasnya dalam  menetukan mana yang Dharma dan mana yang bukan Dharma; mana yang Vinaya dan mana yang bukan Vinaya, pada Konsili Pertama digugat oleh sekelompok Bhikkhu yang dipimpin oleh Bhikkhu Mahadeva. Mereka berpendapat bahwa dalam menetukan Dharma dan Vinaya tidak dibedakan antara Arahat dan bukan Arahat. Kelompok yang menggugat otoritas Arahat (yang jumlahnya besar) memisahkan diri dan mengadakan Konsili sendiri. Kelompok ini dinamakan Mahasanghika (kelompok besar) dan kelompok yang memandang bahwa para Arahat yang mempunyai otoritas menetukan Dharma dan Vinaya disebut Staviravada (Theravada).
Pada abad ketiga sesudah Sang Buddha Parinibbana (249SM) sewaktu Raja Maharaja Asoka Wardhana, diadakan Konsili Ketiga di Pataliputra (Patna) dalam Konsili ini tidak saja dibicarakan masalah Vinaya, tetapi juga dibicarakan tentang perbedaan mengenai Dharma diantara para Bhikkhu dari berbagi sekte Agama Buddha. Konsili ini berlangsung selama 9 bulan dibawah pimpinan Moggaliputta Tissa, Dharma dan Vinaya diucapkan oleh 100 Arahat. Kelompok Theravada pecah menjadi Theravada dan Sarvastivada yang kemudian Mazhab Sarvastivada berhijrah ke Kasmir dan kemudian di bawah perlindungan Raja Kaniska berkembang di India Utara.
Setelah konsili ketiga, Maharaja Asoka Wardhana mengirim Dharmaduta ke seluruh penjuru untuk menyebarkan dharma diantaranya Arahat Milinda, putra Raja Asoka sendiri, ke Sri langka dengan membawa Tipitaka dan Kitab Tipitaka Atthakata. Dalam perkembangan selanjutnya Theravada menjadi lemah dan merupakan sekte yang tidak berpengaruh lagi di daratan India, tetapi tertanam dengan kuat di Sri langka.
Pada Tahun 83 M di Alu Vihara (Sri Langka) diadakan Konsili yang Keempat yang di sponsori oleh Raja Vatta Gamanabhaya pada kesempatan ini Tipitaka di tulis untuk pertama kalinya diman penulisan ini bertujuan untuk melestarikan Dhamma, karena dirasakan makin sedikitnya orang yang mampu menghafal Kitab Tipitaka dan agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma.
Setelah penulisan Kitab Suci Tipitaka berlangsung dengan baik, maka pada tahun 1871 yang disponsori oleh Raja Mindonmin diadakan Konsili Kelima yang dihadiri 2400 Maha Thera da Acriya yang terpelajar selama lima bulan di istana kerajaan untuk menyiapkan keseragaman edisi Kitab Suci Tipitaka yang akan dicatat diatas lempengan Marmer yang berjumlah 729 buah lempengan.
Setelah dilaksanakannya Konsili Kelima maka pada tahun 1954 di Gua Mahapasana, Kaba-Aye Yangoon, Myanmar Konsili ini diselenggarakan guna memurnikan dan memajukan ajaran Buddha. Konsili ini di pimpin oleh Nyaung Yan Sayadaw, Mahasi Sayadaw, Mingun Sayadaw.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar